Sudah Berapa Banyak yang Kita Bunuh di Video Game?

GTA V, game kekerasan

Saya berulang kali berkata ‘bgst’ pas nonton Invincible, sebuah serial animasi yang tayang di platform Amazon. Pertama, karena ia punya beberapa kejutan yang bener-bener membagongkan. Kedua, serial yang berasal dari komik ini penuh dengan adegan berdarah yang lumayan mengerikan.

Contohnya ketika Omniman tiiiiiiitttttttt (sensor karena spoiler).

Semua adegan berdarah yang muncul di serial itu mengingatkan saya pada adegan-adegan berdarah di video game. Kenapa saya ingat? Sebab intensitasnya memang sangat sering. Ini terjadi karena video game akrab dengan adegan kekerasan, terutama game-game yang saya mainkan.

Saya ingat betul saat tengah asyik berjalan di sebuah kota pinggir pantai yang lumayan ramai. Dengan kaos kutang putih dan celana jeans, saya yang berambut cepak mendatangi banyak tempat. Kadang berjalan kaki, seringnya mengendarai motor dan mobil ke sana sini.

Beberapa kali saya menabrak orang hingga tubuhnya penuh dengan darah. Kali lain, saya turun dari mobil, mengeluarkan pistol, menembak orang-orang secara random. Setelah semuanya selesai, saya memandangi orang-orang yang tergeletak tanpa nyawa itu dan mengambil uang yang berceceran.

Saya lantas pergi meninggalkan semuanya dengan wajah tanpa dosa.

Cj, salah satu karakter GTA paling ikonik.
GTA San Andreas.

Tentu, yang saya kisahkan tidak nyata. Saya melakukannya di video game favorit kita semua. Apa lagi kalau bukan GTA San Andreas.

Dalam sejarah video game, ada banyak game lain yang juga membawa unsur-unsur kekerasan. Game perang-perangan seperti Call of Duty, Battlefield, hingga PUBG sudah pasti. Berikutnya ada Doom, Manhunt, Mortal Kombat. Banyak. Berderet-deret panjangnya.

Fyi, game-game seperti itu kebanyakan sukses besar. Penerus GTA San Andreas, GTA V, mencatatkan penjualan hingga 100 juta kopi. Call of Duty juga punya rekor penjualan yang mengesankan. Pada 2012, salah satu seri game ini laku lebih dari 50 juta kopi.

Mengapa game kekerasan laku keras?

Game kekerasan memanfaatkan salah satu dari beberapa naluri utama seseorang. “Ada dua hal yang paling menarik perhatian orang-orang. Salah satunya adalah kekerasan, yang lainnya adalah seks,” kata Profesor Douglas Gentile dari Iowa State University, dilansir NPR.

“Para gamer ini punya adrenalin berupa noradrenalin dan testosteron, dan itu adalah kortisol ,” sambung Gentile. 

Dilansir Alodokter, hormon kortisol berfungsi mengendalikan stres yang dapat dipengaruhi oleh kondisi infeksi, cedera, aktivitas berat, serta stres fisik dan emosional. Hormon ini juga membantu mempertahankan tekanan darah, sekaligus mengendalikan kadar gula darah dengan melepaskan insulin.

“Inilah yang disebut hormon stres. Ini semacam campuran hormon yang sama dengan yang Anda masukkan ke dalam aliran darah jika saya meninju Anda, misalnya,” jelas Gentile.

Jika terjadi di kehidupan nyata, momen seperti itu bakal terasa menyakitkan dan jelas dilarang sehingga tentu kita tak menginginkannya. Namun, “ketika Anda tahu kondisinya aman, memiliki rasa stres yang sangat tinggi itu bisa menyenangkan,” ujar Gentile lagi.

Gampangnya, Gentile mengatakan bahwa kekerasan memberi sensasi yang sudah terprogram untuk bisa kita nikmati. Video game, sementara itu, mampu menyajikan semuanya dalam bentuk dan dengan cara yang membuat kita bisa merasa tetap aman.

“Sensasinya ga bisa gue jelasin,” ungkap Nico, seorang gamer.

Mortal Kombat, game favorit Vincenzo.
Mortal Kombat.

Gayung bersambut. Bagi para developer, game dengan unsur kekerasan dianggap bisa membuat game apa pun menjadi lebih baik. Menurut Megan Zlock dari iStrategyLabs, kekerasan adalah cara paling mudah untuk menciptakan konflik, salah satu aspek utama sebuah game.

“Jika Anda ingin membuat narasi yang baik, Anda perlu menciptakan konflik,” kata Zlock.

Maka jadilah, game-game dengan unsur kekerasan terus-menerus hadir hingga hari ini.

Apakah game kekerasan memicu perilaku buruk?

Pertengahan 1999, terjadi aksi penembakan brutal yang menewaskan 16 orang. Peristiwa itu terjadi di Columbine Highs School yang melibatkan dua remaja bernama Dylan Klebold (18) dan Eric Harris (17). Keduanya menembaki seisi kelas dengan senapan semi-otomatis.

Banyak spekulasi yang lantas bermunculan. Ada yang menyebut Harris dan Klebold membunuh karena merupakan anggota kelompok ‘Trenchcoat Mafia’ yang terpapar budaya Goth. Spekulasi lain, mereka terpengaruh video game yang sarat adegan-adegan kekerasan.

Tak sekali-dua kali game dituding sebagai dalang utama tiap kali kasus-kasus serupa terjadi. Pada 2005, Hilary Clinton yang masih menjadi senator bahkan pernah berujar bahwa “bermain video game kekerasan untuk remaja sama seperti merokok tembakau untuk kanker paru-paru”.

Di India, PUBG sempat dilarang karena dianggap dapat memicu kekerasan. Kisah serupa juga terjadi di Tanah Air ketika Aceh menetapkan fatwa haram. Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga sempat mempertimbangkan hal tersebut untuk game PUBG.

Namun, apakah game-game tersebut memang bisa memicu kekerasan?

lmuwan asal Amerika Serikat, Whitney DeCamp dan Christopher J. Ferguson, melakukan riset pada 9000 anak-anak kelas 8 dan 11 dari berbagai lapisan masyarakat. Mereka merekam intensitas anak-anak itu bermain game kekerasan, bagaimana hubungan keluarga, tingkat ekonomi, dan sebagainya.

Hasilnya, DeCamp dan Ferguson mendapati bahwa kekerasan dalam video game bukanlah penyebab utama kekerasan pada remaja. Justru keluarga dan lingkungan sosial yang lebih berpengaruh terhadap munculnya tindakan brutal pada anak-anak.

Gentile punya pendapat serupa. Ia mengatakan bahwa game memang bisa saja menjadi pemicu munculnya tindakan tersebut, tetapi ini bukanlah faktor utama. Kemungkinannya video game hanyalah satu dari banyak penyebab lain yang jauh lebih besar.

Jadi, jika ada pertanyaan apakah game kekerasan bisa membuat orang-orang bertindak kejam di kehidupan nyata, jawabannya adalah tidak.

Dulu, saya lumayan sering bermain GTA San Andreas. Cukup sering pula saya berkendara dan menabrak orang-orang di jalanan. Kali lain, saya iseng menghajar orang-orang di jalan raya. Tak sekali-dua kali menembaki mereka sebelum akhirnya mengambil uang yang berserakan.

Apakah saya senang menyakiti seseorang di kehidupan nyata? Tentu saja tidak. Saya malah lebih cocok disebut cupu ketimbang suka kekerasan. Hingga hari ini saya bahkan masih tidak tega membunuh semut yang mengerubungi kopi tiap pagi 🙁

***

Beli voucher Steam Wallet, ya di itemku! Udah hemat, gampang, cepat pula. Langsung cus aja!

Untuk press release, iklan, dan kerja sama lainnya dapat mengirim email ke anggasp@fivejack.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *