Plagiarisme di Video Game (1): Sejarah dan Mengapa Ini Sudah Ada Sejak Dulu

Plagiarisme di Video Game 1

Tak lama setelah namanya mulai meredup, Among Us kembali jadi bahan perbincangan. Bukan karena banyak orang memainkan mereka kembali, melainkan karena ribut-ribut soal plagiarisme. InnerSloth selaku pengembang Among Us mengecam tindakan Epic Games yang memasukkan mode baru bernama Impostors ke game Fortnite.

Impostor adalah salah satu istilah yang muncul di Among Us. Istilah ini merujuk pada sekelompok penyusup yang bertugas menghabisi Crewmate. Namun, yang jadi perdebatan lebih dari sekadar nama. Epic Games hampir meniru semua hal yang ada dalam Among Us pada mode Impostors di Fortnite, termasuk tema dan peta di dalamnya.

InnerSloth kian geram karena Epic Games tak melakukan komunikasi sama sekali dengan mereka. Alhasil, mereka menyebut Epic Games melakukan tindakan plagiarisme.

“Akan sangat keren kalau kami bisa berkolaborasi. Soal mekanisme game, okelah, itu tidak boleh saja dirahasiakan, tetapi setidaknya tema atau istilah yang berbeda bukankah akan membuat semuanya jadi terlihat lebih menarik?” kata Community Director Innersloth Victoria Tran, dikutip dari The Verge.

Among Us

Plagiarisme bukan hal baru di industri video game. Pada 1976, desainer Ralf Baer menjalani sejumlah sidang untuk menuntut Ataris atas tuduhan plagiarisme. Baer menganggap Atari meniru mekanik, grafis, dan setengah judul game tenisnya yang bernama Ping-Pong. Baer sendiri adalah perancang konsol game pertama, Magnavox Odyssey.

Masa yang sama mengenal beberapa dugaan plagiarisme lain. Selain Pong, game-game arkade seperti Frogger, Arkanoid, hingga Centepede bahkan mengalami peniruan secara besar-besaran.

Plagiarism Today mencatat, plagiarisme yang terjadi pada masa itu erat kaitannya dengan sistem hak cipta yang tak menghargai video game. Di sisi lain, video game masih dalam bentuk yang sangat sederhana karena komputasi yang terbatas. Pada akhirnya munculnya berbagai macam jiplakan game tak terlalu dipusingkan.

Kondisinya jadi kian mendukung berkat hukum yang tak mengikat. Terbukti, meski Komisi Penggunaan Teknologi Baru memutuskan bahwa perangkat lunak komputer memenuhi syarat untuk mendapat perlindungan hak cipta, plagiarisme tak terelakkan. Salah satunya karena definisi perangkat lunak yang tidak muncul secara resmi dalam undang-undang.

Yang kemudian mengubah kondisi itu secara perlahan salah satunya adalah Nintendo. Melihat masifnya penjiplakan, mereka menggunakan teknologi khusus yang dapat mencegah pihak ketiga meniru game-game di platform mereka. Pada titik ini, tepatnya sekitar pertengahan 1980-an, praktik plagiarisme mulai jarang terlihat.

Namun, plagiarisme tak hilang sepenuhnya.

Lebih dari sedekade kemudian, Zynga yang menelurkan banyak sekali game Facebook menggugat Vostu, pengembang game asal Brasil. Mereka menuduh pengembang tersebut meniru banyak hal dalam sejumlah game bikinan mereka. Di sisi lain, Zynga juga pernah dituntut karena dugaan praktik plagiarisme oleh pengembang lain. 

Genshin Impact

Bahkan, game favorit sejuta umat saat ini, Genshin Impact, juga tak lepas dari tuduhan plagiat. Game RPG bergaya anime tersebut dianggap meniru banyak hal dari game Zelda Breath of the Wild yang lebih dulu jadi perbincangan. Perseteruan antara InnerSloth dan Epic Games terkait plagiarisme Among Us juga contoh lain di industri hari ini.

Lantas, jika plagiarisme di masa lalu terjadi karena sistem komputasi yang amat terbatas dan hukum yang tak mengikat, bagaimana dengan masa sekarang?

Jawaban atas pertanyaan tersebut akan kami sajikan pada bagian berikutnya. Yep, ini adalah bagian pertama sekaligus mukadimah dari seri artikel ‘plagiarisme di video game’. Selamat datang!

***

Nikmati pengalaman gaming yang lebih seru dengan top-up V-Bucks termurah se-Indonesia di itemku!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *