Dua bulan terakhir Indra Wijaya, 24 tahun, sibuk melayani chat para pelanggan. Dalam satu pekan, setidaknya ada dua hingga tiga orang yang menghubungi untuk membeli produk dagangannya. Yang ia jual? Mata uang digital Mobile Legends. Kita mengenalnya dengan sebutan ‘diamonds’.
Semua berawal dari hobi Indra memainkan game itu. Berkaca pada dirinya sendiri, ia sadar bahwa orang-orang rela mengeluarkan sejumlah rupiah untuk mendapatkan diamonds. Para pemain bisa mendapatkannya secara gratis melalui berbagai event, sih, tetapi tentu bukan hal mudah.
Membeli akhirnya jadi pilihan paling masuk akal. Di Indra, seorang pelanggan biasa membeli dengan transaksi total mencapai ratusan ribu rupiah untuk sekali pembelian.
“Gue engga bisa bilang dapat dapat gede, sih. Keuntungannya cuma 10 persen. Tapi lumayan buat tambah-tambah. Apalagi orang-orang biasanya suka beli ke penjual-penjual kayak gue karena rate-nya lebih rendah ketimbang kalo beli di game-nya langsung,” kisah sosok bergelar sarjana perikanan tersebut.

Selama ini sebagian dari kita menganggap game sebatas hiburan di sela-sela waktu luang. Namun, rupanya tak sesempit itu. Perkembangannya bikin ia beralih sebagai industri menjanjikan dalam arti yang jauh lebih luas. Pusaran uang di sana tak lagi cuma soal berapa juta copy game yang terjual, tetapi lebih dari itu.
Kita, orang-orang yang hidup di masa sekarang, familier dengan olahraga elektronik alias ‘esports’, dan ini termasuk salah satu perkembangannya.
Apa yang Indra lakukan juga bagian dari perkembangan itu. Istilahnya Real Money Trading (RMT). Secara plastis mungkin dapat kita terjemahkan sebagai aktivitas jual beli item game dengan uang betulan. RMT juga bisa mencakup transaksi jual beli mata uang yang berlaku di dalam game. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Akan berderet sekali pertanyaan soal aktivitas itu. Dan, tentu saja, sebagian di antaranya menyangkut motif si pembeli: “Ngapain, sih, mau-maunya ngeluarin duit untuk produk yang bahkan tak bisa disentuh tangan?”
Kita tak bisa menyimpulkan apa-apa karena motif adalah perkara subjektif. Arief Rahadian dalam jurnalnya yang berjudul ‘Konstruksi Nilai Barang Virtual dalam Fenomena RMT’ bahkan menyebut banyak sekali alasan orang-orang membeli produk virtual. Dari sana kita hanya bisa menyimpulkan bahwa RMT punya pasar yang besar.
Kita toleh saja World of Warcraft, salah satu game paling populer di dunia. Pada 2010, tercatat ada 10 juta lebih pemain aktif. Sebagian di antaranya rutin melakukan transaksi RMT dengan membeli ‘gold’. Waktu itu 1000 unit gold Warcraft senilai 10 dolar Amerika, atau sekitar Rp90 ribu bila dihitung dengan kurs pada masa yang sama.
Warcraft sendiri adalah MMORPGs (massive multiplayer online role-playing game) yang punya peran besar dalam perkembangan RMT. Namun, transaksi jual beli item virtual sebetulnya sudah dimulai sejak dahulu sekali, bahkan sejak Warcraft belum lahir. Karenanya, mari kita gunakan mesin waktu, menjelajah masa lalu.
Bermula dari Barter
Direktur Pusat Pengembangan Digital University of Manchester, Richard Heeks, melakukan penelitian mendalam tentang RMT pada 2010. Dari sana ia sampai pada simpulan bahwa industri ini ternyata punya sejarah yang serupa dengan transaksi jual beli di dunia nyata: Bermula dari barter.
Tahunnya adalah 1978 ketika MUD (Multi-User Dungeon) kali pertama muncul. Beberapa sumber menyebut game ini sebagai pelopor MMORPG, bahkan game online modern secara keseluruhan. Di sana kamu bisa berkumpul dengan pemain lain dalam dunia virtual dan menjalankan misi, meski hanya berbasis teks.
Akan ada barang-barang tertentu yang bisa kamu peroleh. Sebagaimana sejarah jual-beli betulan, Real Money Trading mula-mula hanya berguna untuk keperluan pribadi. Sampai ketika game itu berkembang lebih jauh, hingga tersedia item-item berharga, banyak yang akhirnya saling bertukar alias barter.
Menurut Heeks, skema barter memasuki tahap berikutnya saat sejumlah produsen menghadirkan ‘gold’ atau emas sebagai mata uang game mereka. Pada masa ini barter tak lagi jadi cara transaksi. Orang-orang mulai menggunakan uang sungguhan untuk membeli emas atau item-item virtual lainnya.
Dari situ pasar terbentuk. Maka, sebagian orang bermain game untuk meraup keuntungan, tak lagi sekadar hiburan. Caranya adalah dengan mengumpulkan gold dalam game sebanyak-banyaknya, lalu dijual. Di masa itu orang-orang yang hidup dengan cara demikian disebut sebagai ‘petani emas virtual’.
Pada 1997, game Ultima Online dan eBay lahir. Ini bikin industri RMT makin berkembang, terlebih karena eBay menawarkan wadah khusus jual beli online. Di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa, tak sedikit yang akhirnya benar-benar menjadikan itu sebagai pekerjaan utama mereka. Atau yang dalam bahasa Heeks menjadi ‘petani emas sejati’.
Bahwa fitur game kian berkembang, juga banyaknya game online baru yang bermunculan, punya peran penting di sana. Akan ada senjata, armor, atau hal lain yang bisa dijual dengan harga tinggi tiap minggunya. Orang-orang pun mulai merintis usaha khusus dan merekrut beberapa karyawan. eBay, sementara itu, jadi tempat terbaik untuk berjualan.
Di Asia, hal-hal macam ini baru berkembang ketika krisis terjadi di akhir 90-an. Krisis itu memaksa pemerintah memutar otak. Beberapa coba berinvestasi di ranah teknologi. Di titik inilah penggunaan jaringan internet berkembang secara masif. Perusahaan telekomunikasi hingga usaha-usaha kecil seperti warnet pun mulai bermunculan.
Korea Selatan jadi titik permulaan setelah hadirnya game MMORPG bernama Lineage. Walau begitu, justru di China industri petani emas berkembang pesat. Semua bermula dari kehadiran World of Warcraft pada 2004. Ini salah satu MMORPG paling sukses yang sekaligus jadi tonggak kemunculan DOTA.
Heeks menyebut bahwa ketersediaan tenaga kerja murah tetapi punya keterampilan bagus jadi penyebab masifnya industri petani emas di negara tersebut. Lebih-lebih, secara kuantitas amat tinggi sebab China salah satu negara dengan populasi terbesar di dunia. Tak ayal negara itu menjadi pusat industri emas virtual global.
Pada 2007, Julian Dibbell, jurnalis New York Times, mengisahkan bagaimana para ‘petani emas’ China bekerja. Ia menulis bahwa kebanyakan mereka adalah pendatang. Salah satunya bernama Li Qiwen, seorang pria yang berasal dari daerah kurang makmur di China. Ia datang ke Nanjing guna mengais rezeki sebagai petani emas virtual.

Pola kerjanya kira-kira seperti ini. Setiap hari, Li akan datang ke sebuah kantor kecil untuk menelusuri Azeroth (dunia di Warcraft) selama 12 jam. Yang ia lakukan adalah menghabisi para ‘monks’ guna mengumpulkan gold. Tak selamanya gold, sih, kadang-kadang ia juga berhasil mengumpulkan item-item berupa senjata dari monks yang ia bunuh.
Saat shift berakhir, Li akan beranjak dari tempat duduk, menuju si bos, dan melaporkan hasil pekerjaan, kemudian pulang. Sementara itu, kursi kosong tadi akan digantikan oleh petani emas lain yang seringnya adalah Wang Huachen. Usianya kala itu masih 22 tahun dan baru saja menyelesaikan kuliah hukum.
“Saya kayaknya bakal kangen berat sama pekerjaan ini deh,” ucap Wang yang ternyata tengah bersiap untuk mengambil sertifikat di bidang sesuai ijazahnya, seperti ditulis Dibbell. “(Pekerjaan ini) kadang bikin bosan. Tapi di sini saya seperti masih bisa bermain-main. Jadi, saya bakal kangen perasaan kayak gitu.”
Berbeda dengan Wang, Zhou Xiaoguang, petani emas lain, tak bisa merasakan hal demikian. Lebih tepatnya, dia tak bisa mengidentifikasi apa yang sebenarnya dia lakukan. “Saya di sini selama 12 jam penuh setiap hari. Enggak bisa disebut sepenuhnya bekerja, sih. Yang jelas seperti enggak ada perbedaan antara bermain dan bekerja,” ujarnya.
Baik Li, Wang, maupun Zhou akan menerima upah pada akhir pekan. Bayarannya sekitar 1,25 dolar untuk setiap 100 gold yang mereka kumpulkan. Adapun, si bos mendapat 3 dolar tiap kali menjual 100 gold kepada para pengecer. Nah, si pengecer inilah yang berhubungan langsung dengan para pemain alias pelanggan.
Melihat angka-angka tersebut, rasanya sukar untuk bilang pekerjaan ini menjanjikan kala itu. Belum lagi bila bicara ruang kerja yang sempit. Waktu kerjanya pun tak manusiawi. Selain mesti menambang emas selama 12 jam sehari, setiap pekerja hanya mendapat jatah libur dua atau tiga hari per bulan.
Walau begitu, industri ‘petani emas’ berkembang masif. Pada 2007 ada ribuan perusahaan di bidang tersebut yang bila ditotal mempekerjakan lebih dari 100.000 petani emas. Tiga tahun berselang, angka itu naik menjadi 400.000 pekerja. Heeks menyebut bahwa total perdagangan emas virtual tahunan di masa itu bisa mencapai 1 miliar dolar.
Tentu saja tiada asap bila tak ada api. Jika asapnya adalah jumlah pekerja dan perputaran uang di sana, apinya adalah para pemain Warcraft yang berjumlah lebih dari 10 juta orang di seluruh dunia.
Di Warcraft, para pemain tersebut membutuhkan gold untuk membeli item-item virtual di dalam game. Tujuan jangka pendeknya adalah guna mengalahkan monster dengan berbagai jenis senjata yang tersedia, sedangkan jangka panjangnya naik level.
Sebetulnya, mereka bisa mendapatkan koin-koin emas dengan mengumpulkannya sendiri. Namun, hanya orang yang waktu luangnya berlebih yang bisa melakukan hal tersebut sebab butuh waktu yang sungguh panjang.
Pilihan paling masuk akal akhirnya dengan membeli dari para pengecer emas online, yang sumber awalnya dari petani-petani virtual. Ada uang yang mesti keluar tetapi sebagian dari mereka, para pemain itu, adalah orang-orang obsesif yang tak ragu mengeluarkan pundi-pundi demi kepuasan bermain.
Para pemain itu sendiri pada praktiknya tak sekadar membeli gold dari para petani. Terkadang, seperti di game Lord of the Rings Online, mereka yang levelnya masih rendah meminta jasa joki atau minimal menjadi pendamping kala bermain. Tentu, tujuannya adalah membawa level tersebut ke tingkat yang lebih tinggi.
Real Money Trading Sempat Memicu Kontroversi
Betapapun masifnya perkembangan jual beli emas virtual, juga sebanyak apapun para pelanggan, ini adalah area abu-abu. Menurut Heeks, praktik demikian pada dasarnya adalah hal kontroversial. Sebab, mengumpulkan uang virtual lalu menjualnya dengan uang betulan melanggar aturan main.
Sebagian pemain nyatanya juga beranggapan serupa, meski dengan alasan yang lebih spesifik. Mereka merasa bahwa jual beli item virtual merusak sportivitas dalam game. Adalah hal tidak adil jika kita bisa naik level tanpa harus bersusah payah mengumpulkan koin-koin emas seorang diri.
Alhasil, para produsen game mulai menyusun siasat, terutama saat industri RMT berkembang makin pesat. eBay, sebagai salah satu wadah jual beli, bahkan melarang semua item virtual sejak 2007. Polemiknya adalah soal siapa sebetulnya pemilik item dan emas di dalam game. Milik produsen kah? Atau milik pemain manapun yang mendapatkannya?

Hingga kini pertanyaan itu masih jadi polemik. Namun, kita tahu bahwa pada akhirnya industri RMT tak terbendung. Perkembangannya bahkan justru semakin masif dan menjanjikan begitu memasuki 2008, terutama karena pilihan game-game online semakin banyak. Beberapa di antaranya bahkan hadir melalui media sosial Facebook.
Pada 2009, total transaksi barang virtual di game-game Facebook mencapai angka 1 miliar dolar Amerika Serikat. Angka itu bertambah menjadi 1,6 miliar setahun berikutnya. Di tahun yang sama, transaksi item-item virtual secara keseluruhan bahkan menyentuh angka 7,3 miliar dolar Amerika.
Kita akan terus membicarakan angka-angka yang yang semakin meninggi di tahun-tahun setelahnya, khususnya saat memasuki era ponsel pintar lewat game-game seperti Mobile Legends, PUBG, Free Fire. Ini belum bicara soal mulai menjamurnya marketplace yang memudahkan para penjual dan pembeli bertransaksi produk-produk virtual, termasuk itemku.
Lantas, apakah RMT kini sudah jadi industri yang lebih menjanjikan?
Mari simak statisik ketiga game Android paling populer berikut ini: Mobile Legends dan PUBG telah diunduh sebanyak 100 juta kali, sedangkan Free Fire 500 juta. Dari angka-angka itu rasanya kita bisa menyimpulkan sendiri mesti menjawab apa.
===
Kami membahas topik khusus terkait game yang diolah secara mendalam pada tiap bulannya. Untuk edisi kali ini, kami membahas seluk-beluk dan sejarah Real Money Trading (RMT). Akan ada tulisan-tulisan lain terkait topik itu yang tayang per pekan. Mudah-mudahan.