Kamu yang mengikuti perkembangan esports pasti familier dengan sebutan shoutcaster.
Mereka kerap muncul di pertandingan-pertandingan esports pada hampir semua game. Jumlahnya beragam, dari satu hingga tiga orang untuk sebuah pertandingan saja.
Pernah mendengar nama-nama seperti Ranger Emas, Kornet, KB, Volva, Velajave, Pasta, Oddi, 8Ken, hingga Anonim? Mereka adalah beberapa shoutcaster kenamanaan di Indonesia.
Tiap kali bertugas mereka akan berteriak sepanjang pertandingan secara play-by-play. Ia bisa sekadar memandu penonton. Tak sedikit pula yang menyelipkan analisis dan terkadang mengucap sepatah humor.
Jika shoutcaster tak hadir, pertandingan esports bakal terasa hambar. Itulah kenapa keberadaan mereka jadi penting bagi industri dengan perputaran uang jutaan dolar USD ini.
Tapi sebentar, bukankah semua tugas shoutcaster di atas tak berbeda dengan yang biasa dilakukan seorang komentator pada pertandingan olahraga?
Yup, pada dasarnya shoutcaster adalah komentator. Kesamaan tugas dan urgensi keduanya bagi sebuah pertandingan jadi bukti. Satu-satunya yang jadi pembeda adalah sebutannya. Itu saja.
Pemilihan istilah shoutcaster bukan karena mereka kerap berteriak sepanjang laga. Istilah itu berasal dari SHOUTcast, salah satu layanan penyedia dan wadah berbagi streaming suara yang berasosiasi dengan Winamp.

Lewat SHOUTcast, kita bisa membuat stasiun radio sendiri atau sekadar membagikan rekaman suara seperti podcast, lalu menyiarkannya ke seluruh dunia lewat internet.
Bahwa kemudian istilah itu diadopsi esports, erat kaitannya dengan sejarah esports itu sendiri. Dulu, hanya sedikit negara yang mengadakan turnamen dan menayangkannya di televisi.
Para pegiat esports akhirnya memanfaatkan SHOUTcast untuk merekam pertandingan dan membagikannya. Yang mengomentari pertandingan disebut shoutcaster/caster saja. Saat esports mulai sering disiarkan, istilah itu nyatanya masih digunakan.