Membahas Bahasa dan Video Game tanpa Bicara Soal Belajar Bahasa melalui Game

Saya bisa memainkan dan menamatkan banyak game berbahasa asing tanpa masalah. Jadi, kenapa harus ada bahasa dalam game?

Foto: Video Games Museum

Waktu itu tahun 2005. Saya sedang menunggu boarding pesawat menuju Canberra. Mata saya memandangi Gameboy Advance SP yang saya pegang di tangan. Di layar, Pokémon Leaf Green Version edisi Jepang sedang berjalan.

Ketika itu, saya belum menguasai bahasa Jepang. Sekarang juga belum sih, tapi toh sepulangnya saya dari Australia dua pekan kemudian, game itu sudah tamat.

Pengalaman memainkan game Pokémon berbahasa Jepang bukanlah yang pertama. Dulu, saya juga pernah main game Dragon Ball yang 100% berbahasa Jepang di SNES.

Game Winning Eleven pertama saya di Playstation pun adalah versi negeri Kakek Sugiono. Tidak ada masalah sama sekali.

Perlukah ada bahasa dalam video game?

Seperti dalam kehidupan sehari-hari, bahasa dalam game berfungsi sebagai alat komunikasi. Lewat bahasa, pembuat game menyampaikan perintah, panduan, cerita, serta informasi-informasi lain yang membantu kita menyelesaikan game.

bahasa dan video game
Foto: Video Games Museum

Memang, tidak semua game membutuhkan bahasa. Game-game yang saya ceritakan di awal tadi, kecuali Pokémon, relatif tidak memerlukan penguasaan bahasa untuk dipahami.

Dragon Ball hanya perlu kemampuan memencet tombol, sedangkan Winning Eleven hanya perlu kemampuan bersabar menghadapi rundungan teman saat kalah.

Sebaliknya, dari segi kuantitas, game-game role-playing (RPG) adalah genre yang paling banyak melibatkan bahasa.

Sangat sulit membayangkan judul-judul seperti Pokémon, Final Fantasy, dan Harvest Moon bisa dipahami tanpa teks atau suara dialog.

Meski demikian, fungsi komunikasi bukanlah milik bahasa seorang diri. Alih-alih bahasa, pembuat game bisa merancang lingkungan game sedemikian rupa sehingga apa yang mereka maksud bisa tersampaikan tanpa perlu dijelaskan oleh kata-kata.

Contohnya adalah Tetris. Di game ini, kita bisa memahami apa yang diinginkan oleh sang pembuat (menyusun balok dengan cara tertentu) tanpa membaca satu huruf pun.

Cerita Tunateks

Bahasa dan video game RPG memang seakan tak terpisahkan. Tapi, hal itu tidak menghentikan pengembang game independen Daniel Benmergui untuk membuat Ernesto: A Quick RPG.

Ernesto menyampaikan sebagian besar informasinya melalui ikon. Memanfaatkan pengetahuan umum gamer tentang elemen-elemen RPG (uang, senjata, monster, dan sebagainya), game ini bisa diselesaikan tanpa perlu membaca atau mendengar.

Memang, Ernesto tidak benar-benar bebas bahasa. Pemain tetap mendapatkan penjelasan mengenai ikon dan apa yang terjadi di game dalam bentuk teks.

Tapi untuk ukuran RPG, Ernesto adalah bukti bahwa bahasa—dalam bentuk teks—bukanlah satu-satunya alat untuk menyampaikan informasi.

Biar begitu, toh Ernesto tidaklah spesial. Ada banyak game lain, bahkan dengan gameplay dan cerita yang lebih kompleks, yang hadir tanpa keterlibatan bahasa.

Sebut saja Brothers: A Tale of Two Sons yang bercerita tentang usaha sepasang saudara dalam menyelamatkan ayah mereka yang sekarat.

Ada pula dua karya studio game asal Denmark, Playdead: Limbo dan Inside. Keduanya mampu menyuguhkan cerita yang dalam hanya lewat gameplay.

Jadi bagaimana, masihkah game memerlukan bahasa?

Tidak perlu, sekian terima kasih.

Canda hehe. Tentu saja bahasa tetap diperlukan dalam video game. Ia memang tidak wajib ada demi penyampaian informasi, tapi eksistensi bahasa di game memegang peran penting lain yang jarang masuk ke dalam ruang-ruang diskusi publik: Koneksi dengan manusia lain.

Dengan kata lain, bahasa memungkinkan gamer untuk berbagi pengalaman dengan sesamanya—menertawai lelucon “arrow in the knee” dari Skyrim—atau bahkan membentuk hubungan baru lewat jargon-jargon Pokémon.

Koneksi itu tidak hanya terjadi antarpemain. Dengan bahasa, pembuat game bisa menyampaikan pesan-pesan indah kepada para pemainnya, baik sengaja atau tidak.

Pada akhirnya, bahasa itu penting karena bermain video game bukan cuma tentang gameplay. Bahasa membuat kita memahami makna yang dalam, yang membuat pengalaman bermain kita tidak berhenti di layar the end.

Written by Dika Satrio

Suka main game saat jam kerja

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *